c_300_225_16777215_00_images_news_batubara1-Slide05-copy.jpg

Lebih kurang 4,5 juta hektare lahan pertambangan batu bara di Provinsi Kalimantan Timur memiliki andil besar terhadap ancaman ketahanan pangan nasional, karena kandungan logam berbahayanya tinggi dan menurunkan kualitas produksi pertanian.

"Tahun 2015 dan 2016, kami melakukan penelitian terhadap 17 sampel air yang diambil dari delapan situs tambang batu bara di Kaltim beserta sejumlah jalur di sekelilingnya," ujar konsultan International Energy Campaigner dari Australia, Paul Winn di Samarinda, Senin.

Hal itu dikatakan Paul dalam pertemuan dengan awak media beserta sejumlah aktivis Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Samarinda.

Hadir pula saat itu Baharuddin, petani asal Kabupaten Kutai Kartanegara yang bangkrut akibat pencemaran tambang batu bara dan Ketut Bagi Yasa dari Jatam Samarinda.

Menurut Paul, semua sampel air diambil menggunakan US EPA Method-1669. Sampel tersebut dianalisa di labrotorium bersertifikasi di Indonesia, kemudian untuk logam berat dites mengunakan ICPMS.

Dari 17 sampel, lanjutnya, terdapat 15 sampel memiliki konsentrasi alumunium, besi, mangan, dan pH (keasaman) yang dimungkinkan berdaya rusak terhadap pertanian dan perikanan.

Sementara pemerintah tidak membuat regulasi tentang batas maksimum konsentrasi aluminium yang dapat larut dalam empat kelas logam tersebut.

Ia menuturkan logam berat merupakan polutan lingkungan yang signifikan, mengingat toksisitasnya merupakan masalah yang makin geting bagi aspek ekologis, gizi, dan lingkungan karena memiliki tingkat kelarutan tinggi dalam air, logam berat, dan mampu diserap oleh makhluk hidup.

"Begitu masuk dalam rantai makanan, maka konsentrasi logam berat dapat meningkat seiring dengan kemampuannya berakumulasi dalam makhluk hidup dan eksosistem. Jika dikonsumsi terus-menerus, logam berat dapat menyebabkan gangguan kesehatan yang serius," ujarnya.

Ia menambahkan toksisitas logam berat juga merupakan salah satu tekanan nonbiologis utama bagi tumbuhan.

Buangan asam tambang, akumulasi, dan air limbah yang dihasilkan oleh pertambangan batu bara, berbagai jenis logam kemudian dilepas sehingga liar mencemari dan terserap kemana saja.

Daya rusak logam berat terhadap tanaman di tanah-tanah yang asam meningkat dan curah hujan tropis yang deras mengurangi pH tanah sehingga meningkatkan keasamannya. Tanah asam mencakup 661.153 km persegi atau sekitar 35 persen dari wilayah Indonesia.

"Tanah tersebut memiliki kisaran pH antara 4 dan 5, sehingga pertanian padi juga bertendensi asam. Penelitian tentang sawah padi di dataran tinggi dan rendah di Indonesia, menunjukkan kisaran pH tanah antara 4,3 hingga 6,75," ucap Paul.(*)

Editor: Rahmad
Sumber: Antara News